Berikutadalah karakteristik dari firqah Ahlussunnah wal Jamaah. 1. Al-Tawasuth dan al-Iqtishad. Tawasuth adalah suatu pola mengambil jalan tengah bagi dua kutub pemikiran yang ekstrem (tatharruf): misalnya jalan tengah antara Qadariyah (free-will) di satu sisi dengan Jabariyah (fatalism). Di sisi yang lain; skriptualisme ortodokos salaf dan
BedaTauhid Ahlussunnah dan Salafi Wahabi (1): Rububiyah dan UluhiyahOleh: A. Fatih Syuhud. Selama puluhan abad, umat Islam Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) di seluruh dunia merasa nyaman dalam bertauhid. Sejak zaman Salafus Soleh[1], muslim mengenal makna tauhid dengan "meyakini Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang patut disembah.".
SaatMasyarakat Iran Hidup Damai Berdampingan dalam Perbedaan Agama dan Mazhab Sebagian besar penduduk Iran adalah muslim. sebanyak 8 hingga 10 persen masyarakat negara itu bermazhab ahlussunnah wal jamaah, terdiri dari sekte Hanafi, Hanbali, Syafi'I, dan Maliki. para penganut mazhab ahlussunnah wal jamaah juga dapat ditemui di wilayah
cash. BEDA SALAF DENGAN SALAFI SEBUAH MAKAR UNTUK MENJATUHKAN MANHAJ SALAFIOleh Abu Ahmad As-SalafiTAQDIM Di antara karakateristik ahli bid’ah dari masa ke masa bahwasanya mereka selalu mencela dan mencoreng citra Ahli Sunnah wa Jama’ah untuk menjatuhkan umat dari al-haq. Al-Imam Abu Hatim Ar-Razi berkata “Ciri ahli bid’ah adalah mencela ahli atsar’ Ahlu Sunnah hlm. 24. Al-Imam Abu Utsman Ash-Shobuni rahimahullah berkata “Tanda yang paling jelas dari ahli bid’ah adalah kerasnya permusuhan mereka kepada pembawa sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, mereka melecehkan dan menghina ahli Sunnah dan menamakan ahli Sunnah dengan Hasyawiyah, Jahalah, Dhohiriyyah, dan Musyabbihah” [Aqidah Salaf Ashabul Hadits, hlm. 116]Diantara deretan buku-buku “hitam” yang mencela Salafiyyin dan Dakwah Salafiyyah adalah buku Beda Salaf dengan Salafi yang beredar baru-baru ini di tanah air, buku ini sarat dengan syubhat-syubhat yang sangat menunaikan kewajiban kami dalam nasehat kepada kaum muslimin dan membela dakwah yang haq maka dengan memohon pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala akan kami paparkan studi kritis terhadap buku ini agar menjadi kewaspadaan dan peringatan bagi kita DAN PENERBIT BUKU Judul asli buku ini adalah Kasyful Haqa’iq Al-Khafiyyah Inda Mudda’is Salafiyyah, ditulis oleh Mu’tab bin Suryan Al-Ashimi, diterjemahkan oleh Wahyuddin dan Abu Ja’far Al-Indunisy, dan diterbitkan oleh Media Islamika Solo cetakan pertama Agustus 2007Sebagai catatan bahwa terjemahan dari kitab asli buku ini hanya sampai hlm. 88, adapun hlm. 89-223 adalah tambahan dari KERAGUAN “MANHAJ TASHNIF” Tashnifunnas klasifikasi manusia yaitu menisbahkan pelaku bid’ah kepada kebid’ahannya, menisbahkan pendusta kepada kedustaannya, dan menisbahkan seorang yang dijarh kepada jarhnya sebagaimana di dalam kitab-kitab jarh wa ta’ telah menyebarkan keragu-raguan terhadap manhaj tashnif ini dengan menyebutnya sebagai tugas iblis!! hlm. 45, dan dia sebut sebagai fitnah!! tashnif ini adalah haq tidak ada keraguan di dalamnya, Ahli Sunnah wal Jama’ah telah sepakat atas shahihnya penisbatan orang yang dikenal dengan suatu kebid’ahan kepada bid’ahnya sebagaimana diketahui oleh setiap orang yang mau menelaah kitab-kitab salaf. Barangsiapa yang dikenal dengan bid’ah Qodar maka dia dikatakan Qodari, barangsiapa yang dikenal dengan bid’ah Khowarij maka dia dikatakan Khoriji, barangsiapa yang dikenal dengna bid’ah Irja’ maka dia dikatakan Murji’, barangsiapa yang dikenal dengan bid’ah Rofdh maka dia dikatakan Rofidhi, dan ini juga terdapat dalam hadits-hadits Nabi Shallallahu alaihi wa sallam seperti penisbahan kelompok pengingkar takdir kepada bid’ah mereka sebagaimana dalam sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.“Qodariyyah adalah Majusinya umat ini, jika mereka sakit maka janganlah kalian menjenguk mereka, dan jika mereka mati maka janganlah kalian melawat mereka’ [Diriwaytkan Abu Dawud dalam Sunannya 4/222 dan dihasankan Syaikh Al-Albany dalam Shahihul Jami’ 4442]Demikian juga kelompok Khowarij yang diisyaratkan oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam di dalam hadits-hadits yang banyak sekali yang mencapai derajat ini juga terdapat di dalam perkataan para Salafush Shalih dari kalangan sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan para imam, seperti riwayat dari Abu Umamah bahwasanya dia menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka” [Al-An’am 159]Dia tafsirkan abahwa mereka adalah Khowarij. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir 2/197]Abdullah bin Abi Aufa –salah seorang sahabat- berkata “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala melaknat Azariqoh! Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala melaknat Azariqoh! Sungguh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah mengabarkan kepada kami bahwa mereka adalah anjing-anjing neraka”. Berktalah perawi darinya “Azariqoh saja atau Khowarij semuanya?” Dia berkata “Bahkan Khowarij semuanya” [Diriwayatkan oleh Ahmad di dalam Musnadnya dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah di dalam Dhilalul Jannah fi Takhrijis Sunnah]Al-Imam Sufyan bin Uyainah berkata tentang Ismail bin Humaid “Dia adalah Baihasi”. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata “Baihasiyyah adalah nama sebuah kelompok Khowarij dari kelompok Shofariyyah yang memandang wajibnya memberontak kepada para pemimpin yang curang” [Lihat Tahdzibut Tahdzib 1/305]Al-Imam Abu Dawud berkata tentang Ishaq bin Robi’”Dia adalah Qodari’ [Lihat Tahdzibut Tahdzib 1/203]Maka tashnifunnaas adalah hal yang disepakti oleh umat ini dan bukanlah perkara yang PENULIS Penulis begitu sinis terhadap manhaj tashnif tetapi dia sendiri memakainya, di dalam hlm. 71-72 dari bukunya ini dia klasifikasi lawan-lawannya menjadi 6 kelompok 1. Al-Hasadah orang-orang yang hasad, 2, Al-Qo’adah[1] orang-orang yang tidak memiliki peran di dalam dakwah, 3. Al-Murtaziqoh para pencari kesenangan pribadi, 4. Al-Muqallidun orang-orang yang taklid, 5. Al-Makhdu’un orang-orang yang terpedaya, dan 6. An-Naqimun para pembalas dendam!Kami katakan ”Duhai alangkah miripnya hari ini dengan kemarin, dahulu Muhammad Surur membagi lawan-lawannya menjadi 6 tingkatan penghambaan 1 George Bush presiden Amerika. 2. Para penguasa di negeri-negeri Arab. 3. Para pembantu penguasa negeri-ngeri Arab dari para menteri, para penasehat, dan yang lainnya. 4, 5,dan 6 adalah para pejabat tinggi di kementrian. Kemudian dia katakan bahwa para ulama Saudi seperti Syaikh Bin Baz rahimahullah, Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah dan Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidhahullah sebagai budak-budak budaknya budak dan majikan mereka adalah orang Nasrani!!! [Majalah As-Sunnah Al-Britaniyyah, edisi 26 Jumada Ula 1413H, hlm. 2-3]“Hati mereka serupa . sesungguhnya kami telah menjelaskan tanda-tanda kakuasaan Kami kepada kaum yang yakin” [Al-Baqarah 118]Dan lihatlah bagaimana teman-teman Muhammad Surur dari kelompok Quthbiyyin membagi para ulama menjadi ulama yang faham waqi’ dan ulama yang tidak fawah waqi’, mereka merendahkan dan melecehkan para ulama Salafiyyin dengan mengatakan bahwa mereka bukanlah rujukan kaum muslimin karena mereka tidak faham waqi’ realita sebagaimana dikatakan oleh Salman dalam Majalah Al-Ishlah Emirat Arab edisi 223 28/1, dan Abdurrahman Abdul Khaliq dalam kitabnya Khuthuth Roisiyah Liba’tsil Ummah Islamiyyah hlm. 73-78 Lihat Madarikun Nazhar hlm. 271 dan Jama’ah Wahidah hlm. 40. Di sisi lain mereka membagi ulama menjadi ulama sulthon ulama penguasa dan sulthonul ulama yaitu kelompok mereka sebagaimana dikatakan oleh Aidh Al-Qorni di dalam Qoshidahnya yang berjudul Da’il Hawasyi Wakhruj tinggalkanlah para antek penguasa dan keluarlah!Maka kami katakan bahwa penulis bersikap plin-plan dalam menyikapi tashnif, jika tashnif dirasa merugikannya maka dia tolak, dan jika dirasakan menguntungkannya maka dia pakai. Hal seperti inilah yang dilakukan oleh para ahli bid’ah dan pengekor hawa nafsu, mereka mengklasifikasi manusia semau mereka sesuai dengan hawa nafsu mereka, mereka mengklasifikasi para ulama menjadi ulama politik dan ulama haidh dan nifas!. Di sisi lain tatkala para ulama sunnah mentashnif mengklasifikasi para gembong mereka kepada masing-masing kebid’ahan mereka maka dengan serentak mereka marah dan membabi buta, mereka sebarkan keragu-raguan kepada umat tentang masalah tashnif yang haq dengan maksud untuk melindungi nama dan kedudukan gembong-gembong KEBENCIAN TERHADAP ISTILAH SALAFI DAN SALAFIYYAH Penulis begitu getol di dalam menyebarkan kebencian terhadap nisbah salafi dan salafiyyah, dia katakan bahwa nisbah as-salafi atau al-atsari sebagai suatu kesombongan! hlm. 42. Bahkan dia buat manusia ngeri memakai istilah salafi dengan dia katakan bahwa para pengaku salafi adalah pelaku kejahatan! tidak ada yang lebih membanggakan seorang muslim dari menisbahkan diri kepada salaf, lafadz salafiyyah atau salafi tidaklah digunakan oleh para ulama Ahli Sunnah kecuali dalam kebaikan, lihatlah dalam kitab-kitab para ulama terutama dalam kitab-kitab biografi mereka tidaklah menyebut salaf atau salafi melainkan sebagai pujian, begitu sering para ulama menyebutkan biografi seseorang dan menyebutkan di antara manaqibnya adalah karena dia berjalan diatas manhaj Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata “Tidak ada cela bagi orang yang menampakkan madzhab salaf, menisbahkan diri kepadanya, dan membanggakannya, bahkan wajib diterima semua itu darinya dengan kesepakatan ulama. Karena sesungguhnya madzhab salaf adalah haq, jika dia sesuai dengan salaf secara lahir dan batin, maka dia seperti seorang mukmin yang di atas kebenaran secara lahir dan batin” [Majmu Fatawa 4/149]Al-Hafidz Adz-Dzahabi rahimahullah sering menyebutkan nisbah kepada salaf as-salafi ketika menyebutkan biografi para ulama.a Ketika menyebutkan biografi Ya’qub bin Sufyan Al-Fasawi dalam Siyar A’lamin Nubala 13/183 berkata “Aku tidaklah mengetahui Ya’qub Al-Fasawi kecuali seorang salafi”b. Ketika menyebutkan biografi Muhammad bin Muhammad Al-Bahrani beliau berkata “Dia adalah seorang yang beragama, baik, dan seorang salafi” [Mu’jam Syuyuh 843]c. Ketika menyebutkan biografi Al-Imam Daruquthni beliau mengatakan ”Dia tidak pernah masuk sama sekali dalam ilmu kalam dan jadal, bahkan dia adalah seorang salafi’ [Siyar 16/457]d Ketika menyebutkan biografi Abu Thohir As-Silafi beliau mengatakan ”As-Silafi diambil dari kata As-Salafi yaitu yang berjalan di atas madzhab salaf” [Siyar 21/6]e. Ketika menyebutkan biografi Al-Hafidzh Ibnu Sholah rahimahullah beliau mengatakan “Dia adalah seorang salafi, bagus aqidahnya ..” [Tadzkirotul Huffadz 4/1431]Dan merupakan hal yang dimaklumi bahwa kelompok-kelompok bid’ah sangat menjauhi intisab kepada salaf, sampai-sampai kelompok yang mengaku beraqidah salaf pun juga menjauhi dan menghindari penisbatan kepada salaf, inilah syi’ar ahli bid’ah dari masa ke masa sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah “Syi’ar ahli bid’ah adalah tidak mau ittiba’ kepada salaf” [Majmu Fatawa 4/100]Kelompok-kelompok bid’ah ini mengetahui bahwasanya dengan meninggalkan intisab kepada salaf maka mereka dengan leluasa menghukumi segala sesuatu dengan akal mereka, perasaan mereka dan eksperimen-eksperimen mereka!Inilah realita yang menujukkan keagungan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala, agar nampak jelas dakwah yang haq dari setiap kebatilan yang hendak menyerupainya, dan agar dakwah yang haq murni dari segala macam kotoran hendak OPINI BAHWA PARA ULAMA MEMBENCI NISBAH SALAFI DAN SALAFIYYAH Penulis banyak menukil perkataan para ulama yang mengesankan bahwa para ulama tersebut tidak suka kepada nisbah As-Salafi, Al-Atsari, As-Salafiyyah dan yang semisalnya. Nukilan-nukilan ini harus dicek ulang karena kedustaan adalah ciri khas dari setiap ahli bid’ah, Al-Imam Ali bin Harb Al-Maushili berkata ”Setiap ahli hawa pengekor hawa nafsu selalu berdusta dan tidak peduli dengan kedustaannya!” Diriwayatkan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Al-Kifayah hlm. 123 Di antara nama-nama yang dicatut oleh penulis dari para ulama adalah Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah, dan Syaikh Shalih Al-FauzanPadahal kenyataan yang sebenarnya bahwa para ulama yang disebut nama-namanya di atas selalu mengajak manusia agar ittiba’ kepada manhaj salafi sebagaimana di dalam nukilan-nukilan berikut Ibnu Baz pernah ditanya ”Apa yang engkau katakan terhadap orang yang memberi nama dengan As-Salafi dan Al-Atsari, apakah hal itu termasuk tazkiyah?” Beliau rahimahullah menjawab ”Kalau memang benar dia Atsari menapaki atsar pendahulunya atau Salafi mengikuti pemahaman Salaf As-Shalih maka tidak mengapa, semisal apa yang dikatakan para salaf, mereka mengatakan Fulan Salafi, Fulan Atsari’, ini adalah sebuah tazkiyah yang seharusnya, tazkiyah yang wajib’ [Muhadhoroh dengan tema Haq Al-Muslim tgl. 16/1/1423H di Thoif]Berkata Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafidhahullah ”Penamaan dengan As-Salafiyah apabila memang benar maka tidak mengapa, namun apabila cuma sekedar pengakuan belaka, maka tidak boleh menamakan dengan As-Salafiyyah karena ia tidak berada pada manhaj Salaf” [Al-Ajwibah Mufidah. 15]Telah datang suatu pertanyaan kepada Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidhahullah yang berbunyi ”Apakah salafiyyah adalah suatu hizb kelompok dan apakah menisbahkan diri kepadanya adalah hal yang tercela?” Maka beliau menjawab ”Salafiyah adalah Firqotun Najiah kelompok yang selamat mereka adalah Ahli Sunnah wal Jama’ah, bukan suatu hizb yang dinamakan sekarang sebagai kelompok-kelompok atau partai-partai, sesungguhnya dia adalah suatu jama’ah, jama’ah yang berjalan di atas sunnah.. maka Salafiyyah adalah jama’ah yang berjalan di atas madzhab Salaf dan di atas jalan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya, dan dia bukanlah salah satu kelompok dari kelompok-kelompok yang muncul sekarang ini, karena dia adalah jama’ah yang terdahulu dari zaman Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan terus berlanjut terus menerus di atas kebenaran dan nampak hingga hari Kiamat sebagaimana diberitakan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam” [Dari kaset yang berjudul At-Tahdzir Minal Bida’]Dan termasuk mereka juga para ulama yang membolehkan penisbahan tersebut Syaikh Al-Fadzil Ali bin Nasir Faqihi di dalam kitabnya Al-Fath Al-Mubin Bir –Rod Ala Naqd Abdillah Al-Ghumari Likitabil Arbain” [Lihat Kun Salafiyan Alal Jaddah 44]MENCOMOT FATWA-FATWA ULAMA YANG SEJALAN DENGAN KEPENTINGAN MEREKA Diakhir buku penerbit menambahkan lampiran-lampiran buku mereka ini yang dua kali lipat dibandingkan dengan buku aslinya, di antara lampiran-lampiran tersebut terdapat Fatwa Lajnah Daimah yang mengkritik sebagian tulisan dari Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi, yang pada hari-hari ini Hizbiyyun begitu semangat di dalam para hizbiyyun ini sangat mengherankan sekali, karena sepanjang sejarah perjalanan mereka baru kali ini mereka begitu antusias untuk menukil sebuah fatwa dari para ulama Saudi Arabia. Tempo hari mereka menuding para ulama Saudi hanyalah ulama haid dan nifas, tidak paham realita, antek-antek CIA, ulama penguasa, dan sederet tuduhan-tuduhan keji yang lainnya!. Kemudian hari ini dengan serempak mereka menukil sebuah fatwa dari para ulama Saudi Arabia dan menyebarluaskannya?!Sehubungan dengan Fatwa Lajnah Daimah ini kami nukilkan tanggapan dari Syaikh Dr Husain bin Abdul Aziz Alu Syaikh –Imam Masjid Nabawi dan Qadhi di Pengadilan Tinggi Madinah Nabawiyyah- di dalam ceramah beliau yang berjudul Ala Thoriqi Sunnah pada tanggal 5 Rabi’ul Awwal 1422H “Yang kami yakini dan yang kami pertanggung jawabkan dihadapan Allah bahwasanya Syaikh Ali hafidhahullah dan gurunya –Syaikh Al-Albani rahimahullah- paling jauh di antara manusia dari madzhab Murji’ah –sebagaimana telah kami katakan sebelumnya. Syaikh Ali –demikian juga Syaikh Al-Albani rahimahullah- -jika dikatakan kepadanya Apakah defenisi iman? Tidak akan kita dapati dalam ucapannya perkataan Murji’ah yang mengatakan bahwa amalan tidak masuk dalam keimanan. Bahkan nash-nash Syaikh Al-Albani rahimahullah menashkan bahwa defenisi iman adalah ”Keyakinan dengan hati, perkataan dengan lisan, dan amalan dengan anggota tubuh, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan” [Lihat Tanbihat Mutawaimah hal. 553-557]PENUTUP Inilah di antara hal-hal yang bisa kami paparkan dari sebagian bantahan terhadap syubhat-syubhat buku ini, yang intinya bahwa buku ini hendak menjatuhkan manhaj tashnif untuk mengaburkan antara ahli Sunnah dan ahli bid’ah dan sekaligus menjauhkan manusia dari manhaj Salafush Shalih. Semoga Alah Subhanahu wa Ta’ala selalu meneguhkan kita di atas sunnah dan menjauhkan kita dari semua kebid’ahan. Amin[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi 8, Th. Ke-7 1429/2008. Diterbitkan Oleh Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Alamat Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim] _______ Footnote [1]. Di dalam terjemahnya tertulis Al-Uqdah, ini adalah kekeliruan dari penerjemah
APA PERBEDAAN dari AHLUS SUNNAH WAL’JAMAAH , SALAFY, ASWAJA dan WAHABISM? Bismillah, Ahlus sunnah adalah mereka yang setidaknya faham dan mengamalkan beberapa nash ini Allah Azza wa jall berfirman ”Berpeganglah kamu semua pada tali Allah Al Qur’an dan Sunnah, dan janganlah kamu berpecah belah” Al Qur’an. Surat Ali Imron 103 “ Hai orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya dan Ulil Amri diantara kamu, Kemudian jika kamu berlainan/berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan ia kepada Kitabullah Al Qur’an dan Rasul Sunnahnya jika kalian benar2 beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.” Al Qur’an. Surat An Nisa’ 59 “Katakanlah , “Inilah jalan ku, aku dan orang-orang yang mengikuti ku menyeru kalian kepada Allah Ta`ala dengan ilmu yang nyata .Maha Suci Allah dan aku tidak termasuk oarng-orang yang musyrik” QS. Yusuf 108 “Wahai orang2 yang beriman, masuklah kamu kedalam Islam secara keseluruhan Total, dan jangan kamu ikuti langkah2 syetan, sesungguhnya ia syetan adalah musuhmu yang nyata” QS. Al Baqoroh ayat 208 Dari Mu’awiah Radhiallahu anhu, ia berkata Rasulullah Shallallaahu alaihi wa sallam berdiri diantara kami lalu bersabda “Ketahuilah bahwa umat sebelum kalian dari golongan ahli kitab berpecah-pecah menjadi 72 firqoh/golongan, dan sesungguhnya umatku sampai dengan hari kiamat nanti akan terpecah menjadi 73 firqoh/golongan, dimana dari 73 golongan ini, yang 72 golongan terancam neraka dan hanya satu golongan yang menjadi ahli surga. Ketika para sahabat bertanya kepada Nabi Shallallahu alaihi Wassalam tentang siapa golongan yang hanya satu itu, Rasulullah menjawab “Al jama’ah, yang aku dan para sahabatku ada diatasnya/berpijak pada sunnahku”. SHAHIH, Riwayat Ahmad, Abu Daud, dishahihkan oleh Al Albani Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda ”Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu amalan dalam urusan agama yang bukan datang dari kami Allah dan Rasul-Nya, maka tertolaklah amalnya itu”. SHAHIH, riwayat Muslim Juz 5,133 Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda “Amma ba’du! Maka sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah Al-Qur’an dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallaahu alaihi wa sallam. Dan sejelek-jelek urusan adalah yang baru / yang diada-adakan Muhdast dan setiap yang muhdast adalah bid’ah dan setiap yang bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di neraka” SHAHIH, riwayat Muslim Juz 3, 11, riwayat Ahmad Juz 3, 310, riwayat Ibnu Majah no 45 Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda “Sesungguhnya Syetan telah berputus asa untuk disembah dinegri kalian, tetapi ia senang ditaati menyangkut hal selain itu diantara amal perbuatan yang kalian anggap sepele, maka berhati-hatilah. Sesungguhnya aku telah meninggalkan/mewariskan pada kalian apa2 yang jika kalian berpegang teguh padanya, maka kalian tidak akan sesat selamanya, yaitu kitab Allah dan Sunnah NabiNya” HASAN, riwayat Bukhari, Muslim, Al Hakim, Adz zahabi, Albani Nabi shallallahu alaihi wa sallam membuat garis dgn tangannya, kemudian bersabda, “Inilah jalan Allah yg lurus”, lalu beliau membuat garis2 di kanan dan kirinya kmudian bersabda,”Inilah jalan2 yg sesat, tak satupun jalan2 itu kecuali didalamnya terdapat syaitan yg menyeru kepadanya”.[SHAHIH. HR. Ahmad 1/435, ad Darimi 1/72, al Hakim 2/261, al Lalika’i 1/90. Dishahihkan al Albani dlm Dzilalul Jannah]. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda “Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, patuh dan taat walaupun dipimpin budak Habasyi, karena siapa yang masih hidup dari kalian maka akan melihat perselisihan yang banyak. Maka berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah pada Khulafaur Rasyidin yang memberi petunjuk berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah dia dengan gigi geraham kalian. Dan waspadalah terhadap perkara-perkara yang baru yang diada-adakan kepada hal-hal yang baru itu adalah kebid’ahan dan setiap kebid’ahan adalah kesesatan”. [SHAHIH. Dawud 4608, At-Tirmidziy 2676 dan Ibnu Majah 44,43,Al-Hakim 1/97] “Aku tinggalkan kalian di atas jalan yang putih, malamnya bagaikan siangnya, tidak ada seorang pun sepeninggalku yang berpaling darinya melainkan ia akan binasa….”[SHAHIH. HR Ibnu Majah 1/16 no. 43 dan lain-lain, dari hadits Al-Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu anhu. Ini lafazh dalam Sunan Ibnu Majah. Lihat juga As-Silsilah Ash-Shahihah 2/610 no. 937] ☀ ☀☀ SALAFY Inilah dialog antara Syaikh Al-Albani rahimahullah dgn ustadz Abdul Halim Abu Syuqah, pengarang kitab “Tahrirul Mar’ah Fi Ashri Ar-Risalah”. Berkata Asy-Syaikh Albani “Kalau engkau ditanya apa madzhab kamu, apa yang akan kamu katakan ?” Dia menjawab “Muslim” Berkata Asy-Syaikh Ini tidak cukup ! Dia berkata “Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menamakan kita kaum muslimin sejak dahulu, lalu dia membacakan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala “Dia Allah telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu” [Al-Hajj 78] Berkata Asy-Syaikh “Ini adalah jawaban yang benar seandainya kita berada di zaman awal sebelum berkembangnya kelompok-kelompok sesat, dan seandainya kita tanyakan -sekarang- setiap muslim dari kelompok-kelompok yang kita berselisih dengannya secara mendasar dalam aqidah, maka tidak akan berbeda jawabannya dari jawaban ini, semuanya mengatakan baik orang Syi’ah Rafidah, Khawarij, Druze, Nushairiy Al-Alawiy Saya Muslim, kalau begitu jawaban itu belum cukup untuk saat-saat ini”. Dia berkata “Kalau begitu saya katakan Saya muslim yang berada di atas Al-Kitab dan As-Sunnah”. Berkata Asy-Syaikh “Ini juga tidak cukup”. Dia berkata “Kenapa ?” Berkata Asy-Syaikh “Apakah kamu dapatkan seorang dari mereka yang telah kita jadikan contoh mengatakan Saya muslim dan saya tidak berada di atas Al-Kitab dan As-Sunnah … maka siapakah yang mengatakan Saya tidak berada di atas Al-Kitab dan As-Sunnah”. Kemudian Syaikh mulai menjelaskan arti penting tambahan yang kami telah tetapkan yaitu Al-Kitab dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman As-Salaf Ash-Shalih. Dia berkata “Kalau begitu saya seorang muslim yang berada di atas Al-Kitab dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman As-Salaf Ash-Shalih”. Berkata Asy-Syaikh “Jika seorang bertanya kepada kamu tentang madzhab kamu, apakah kamu akan menjawab demikian ?” Dia berkata “Ya”. Berkata Asy-Syaikh “Bagaimana pendapat kamu jika kita meringkasnya secara bahasa, karena sebaik-baiknya perkataan adalah yang paling ringkas tetapi mewakili maksudnya, maka kita katakan Salafiy”. Dia berkata “Saya mungkin berbasa-basi kepadamu dan saya katakan Ya, akan tetapi keyakinan saya tetap seperti tadi, karena pertama yang terbesit pada pikiran seseorang ketika mendengar kamu adalah Salafiy adalah hal-hal yang banyak dari kebiasaan berupa sikap-sikap keras yang mengantar kepada kebengisan yang terkadang ada pada Salafiyin orang-orang Salafiy”. Berkata Asy-Syaikh “Anggaplah ucapanmu itu benar. Jika kamu katakan Saya muslim, tidak akan terpahami kamu seorang Syi’ah Rafidah atau Druziyah atau Ismailiyah..?” Dia berkata “Mungkin saja akan tetapi saya telah mengikuti ayat yang mulia “Dia Allah telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu” [Al-Hajj 78]” Berkata Asy-Syaikh “Tidak wahai saudaraku ! sesungguhnya kamu tidak mengikuti ayat tersebut, karena ayat tersebut bermakna Islam yang benar, sepatutnyalah diajak bicara orang-orang sesuai dengan akalnya … apakah ada seorang yang memahami dari kamu bahwa kamu muslim dengan makna yang ada di ayat tersebut ? Adapun hal-hal yang jelek yang telah kamu sebutkan tadi adakalanya benar atau tidak benar, karena perkataan kamu keras, adakalanya pada sebagian pribadi-pribadi saja dan bukan seperti manhaj ilmiyah yang diyakini, maka tinggalkanlah pribadi-pribadi tersebut. karena kita berbicara tentang manhaj dan karena kalau kita katakan Syi’iy, Driziy, Khorijiy, Shufi atau Mu’taziliy akan masuk juga kepada hal-hal buruk yang telah kamu sebutkan. Kalau begitu hal itu diluar pembahasan kita, karena kita membahas tentang nama yang menunjukkan madzhab yang dipegangi oleh seorang manusia”. Kemudian Syaikh berkata “Bukankah parasahabat semuanya muslim ?” Dia menjawab “Tentu.” Berkata Asy-Syaikh “Akan tetapi ada dari mereka yang mencuri dan berzina, dan ini tidak diperbolehkan seorangpun mengatakan Saya bukan seorang muslim, akan tetapi dia masih seorang muslim yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya seperti satu manhaj, akan tetapi dia terkadang menyelisihi manhajnya, karena dia tidak maksum. Oleh karena itu, kita -semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberkati kamu- berbicara tentang kata yang menunjukkan aqidah, pemikiran dan pedoman kita dalam kehidupan dalam hal yang berhubungan dengan perkara agama yang kita beribadah denganya. Adapun fulan keras atau sebaliknya lemah adalah perkara lain”. Kemudian berkata Asy-Syaikh “Saya ingin kamu renungkan kata yang singkat ini sampai kamu tidak tetap terus berada pada kata muslim sedangkan kamu tahu tidak ada seorangpun yang memahami darimu apa yang kamu inginkan darinya, maka kalau begitu berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kemampuan akal mereka”. Barakallahu laka fi Talbiyika. Disalin dari Kitab Limadza Ikhtartu Al-Manhaj As-Salafy, edisi Indonesia Mengapa Memilih Manhaj Salaf Studi Kritis Solusi Problematika Umat oleh Syaikh Abu Usamah Salim bin Ied Al-Hilaly ☀ ☀☀ ASY’ARIYAH mazhab Asy’ari atau ASWAJA [ Tidak termasuk Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ] Ada TIGA FASE keyakinan yang al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari lalui, yaitu »̶>❥Fase pertama bersama Mu’tazilah, »̶>❥Fase kedua bersama Kullabiyah, »̶>❥Dan TERAKHIR bersama Salafiyah Ahlus Sunnah wal Jamaah setelah mendapatkan hidayah dari ar-Rahman. ADAPUN, Asy’ariyah / Mazhab Asy’ari / ASWAJA, tiada lain adalah KELANJUTAN DARI mazhab KULLABIYAH, yang TELAH DITINGGALKAN oleh al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari sendiri. Bahkan, dengan tegas Beliau menyatakan bahwa beliau berada di atas jalan Rasulullah dan as-salafush shalih, sejalan dengan al-Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal , dan menyelisihi siapa saja yang berseberangan dengan beliau [7]. Rujukan Napak Tilas Perjalanan Hidup al-Imam Abul Hasan Al-asy’ari ditulis oleh Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi, Lc. ♧♧♧♧♧♧ Ulama yang menyatakan bahwa Asy’ariyah ASWAJA_pen, BUKAN AHLUS SUNNAH 1. Al-Imam Ahmad bin Hambal rahimahullahu Ibnu Khuzaimah rahimahullahu ditanya oleh Abu Ali Ats-Tsaqafi “Apa yang kau ingkari, wahai ustadz, dari madzhab kami supaya kami bisa rujuk darinya?” Ibnu Khuzaimah berkata “Karena kalian condong kepada pemahaman Kullabiyah. Ahmad bin Hanbal termasuk orang yang paling keras terhadap Abdullah bin Said bin Kullab dan teman-temannya, seperti Harits serta lainnya.” Perlu diketahui bahwa Kullabiyah adalah masyayikh guru/pembesar Asy’ariyah. Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata “Kullabiyah adalah guru-guru orang Asy’ariyah….”Kitab Istiqamah 2. Ibnu Qudamah rahimahullahu Beliau rahimahullahu berkata “Kami tidak mengetahui ada kelompok ahlul bid’ah yang menyembunyikan pemikiran-pemikirannya dan tidak berani menampakkannya, selain zanadiqah kaum zindiq, orang-orang yang menyembunyikan kekafiran dan menampakkan keimanan, red. dan Asy’ariyah.” 3. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin rahimahullahu Beliau berkata “Asya’irah dan Maturidiyah serta yang semisal mereka, bukanlah Ahlus Sunnah wal Jamaah.” 4. Syaikh Shalih Al-Fauzan pernah ditanya “Apakah Asy’ariyah dan Maturidiyah termasuk Ahlus Sunnah?” Beliau menjawab “Mereka tidak teranggap sebagai Ahlus Sunnah. Tidak ada seorang pun yang memasukkan mereka ke dalam Ahlus Sunnah wal Jamaah. Mereka memang menamakan diri mereka termasuk Ahlus Sunnah, namun hakikatnya mereka bukanlah Ahlus Sunnah.” Lihat Takidat Musallamat Salafiyah hal. 19-30 Rujukan Sufi Adalah Pengikut Firqah Asy’ariah Ditulis Oleh Al-Ustadz Abu Abdillah Abdurrahman Mubarak ♧♧♧♧♧♧ Dalam daurah Syar’iyyah Fi Masail Aqa’idiyyah Wal Manhajiyyah di Surabaya, dua tahun yang lalu, Syaikh Salim ditanya Apakah Al Asy’ariyyah termasuk Ahlu Sunnah Wal Jama’ah? Beliau menjawab dengan tegas “Al Asy’ariyyah tidak termasuk Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.” Dinukil dr [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun VNina FemI/1425H/2004M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296] Footnote [7] Perlu diketahui, mazhab Asy’ari atau ASWAJA atau Kullabiyah, semuanya berseberangan dengan prinsip yang diyakini oleh al-Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal . Dengan demikian, berseberangan pula dengan prinsip yang diyakini oleh al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari . Tajuddin as-Subki —seorang tokoh mazhab Syafi’i—berkata, “Abul Hasan al-Asy’ari adalah tokoh besar Ahlus Sunnah setelah al-Imam Ahmad bin Hanbal. Akidah beliau adalah akidah al-Imam Ahmad , tiada keraguan dan kebimbangan padanya. Inilah yang ditegaskan berkali-kali oleh Abul Hasan al-Asy’ari dalam beberapa karya tulis beliau.” Thabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra 4/236 ====== Catatan 1> Apa itu madzab Kullabiyah ? lihat di 2> Apa itu Mu’tazilah ? lihat di »̶˚♧♧°̶ Lihat ☀ ☀☀ Adapun Wahabi adalah sebutan “tuduhan” bagi mereka2 berpegang teguh pada as sunnah dan memerangi syirik sebagaimana dakwah yang di canangkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang mana dakwah beliau adalah memurnikan Islam yang “Anti Syirik” dan “Anti Bid’ah”. Sebutan tuduhan “wahabi” ini di prakarsai oleh musuh2 dakwah tauhid yang mana mereka adalah “Ahlul bid’ah” dan”Ahlusy Syirik” SIAPA PENCETUS PERTAMA ISTILAH WAHHABI? Suatu hal yang jelas bahwa Inggris merupakan negara barat pertama yang cukup interest menggelari dakwah ini dengan “Wahhabisme”, alasannya karena dakwah ini mencapai wilayah koloni Inggris yang paling berharga, yaitu India. Banyak ulamâ` di India yang memeluk dan menyokong dakwah Imâm Ibn Abdil Wahhâb. Juga, Inggris menyaksikan bahwa dakwah ini tumbuh subur berkembang dimana para pengikutnya telah mencakup sekelompok ulamâ` ternama di penjuru dunia Islâm. Selama masa itu, Inggris juga mengasuh sekte Qâdhiyânî dalam rangka untuk mengganti mainstream ideologi Islam. [Lihat Dr. Muhammâd ibn Sa’d asy-Syuwai’ir, Tashhîh Khathâ’ Târîkhî Haula`l Wahhâbiyyah, Riyâdh Dârul Habîb 2000; hal. 55]. Mereka berhasrat untuk memperluas wilayah kekuasaan mereka di India dengan mengandalkan sebuah sekte ciptaan mereka sendiri, Qâdhiyânî, yaitu sekte yang diciptakan, diasuh dan dilindungi oleh Inggris. Sekte yang tidak menyeru jihad untuk mengusir kolonial Inggris yang berdiam di India. Oleh karena itulah, ketika dakwah Imâm Ibn Abdil Wahhâb mulai menyebar di India, dan dengannya datanglah slogan jihad melawan penjajah asing, Inggris menjadi semakin resah. Mereka pun menggelari dakwah ini dan para pengikutnya sebagai Wahhâbi’ dalam rangka untuk mengecilkan hati kaum muslimin di India yang ingin turut bergabung dengannya, dengan harapan perlawanan terhadap penjajah Inggris tidak akan menguat kembali.* Banyak Ulamâ` yang mendukung dakwah ini ditindas, beberapa dibunuh dan lainnya dipenjara.** Catatan * Hunter dalam bukunya yang berjudul “The Indian Musalmans” mencatat bahwa selama pemberontakan orang India tahun 1867, Inggris paling menakuti kebangkitan muslim Wahhâbi’ yang tengah bangkit menentang Inggris. Hunter menyatakan di dalam bukunya bahwa “There is no fear to the British in India except from the Wahhabis, for they are causing disturbances againts them, and agitating the people under the name of jihaad to throw away the yoke of disobedience to the British and their authority.” [“Tidak ada ketakutan bagi Inggris di India melainkan terhadap kaum Wahhâbi, karena merekalah yang menyebabkan kerusuhan dalam rangka menentang Inggris dan mengagitasi membangkitkan semangat umat dengan atas nama jihâd untuk memusnahkan penindasan akibat dari ketidaktundukan kepada Inggris dan kekuasaan mereka.”] Lihat Hunter, “The Indian Musalmans”, di London Trűbner and Co., 1871; Calcuta Comrade Publishers, 1945, 2nd edn.; New Delhi Rupa & Co., 2002 Reprint ** Di Bengal selama masa ini, banyak kaum muslimin termasuk tua, muda dan para wanita, semuanya disebut dengan “Wahhâbi” dan dianggap sebagai “pemberontak” yang melawan Inggris kemudian digantung pada tahun 1863-1864. Mereka yang dipenjarakan di Pulau Andaman dan disiksa adalah para ulama dari komunitas Salafî-Ahlul Hadîts, seperti Syaikh Ja’far Tsanisârî, Syaikh Yahyâ Alî 1828-1868, Syaikh Ahmad Abdullâh 1808-1881, Syaikh Nadzîr Husain ad-Dihlawî dan masih banyak lagi lainnya. Muhammad Ja’far, Târikhul Ajîb dan Târikhul Ajîb – History of Port Blair Nawalkshore Press, 1892, 2nd edition. Suatu hal yang perlu dicatat, di dalam surat-surat dan laporan-laporan yang dikirimkan kepada ayah tirinya dan pemerintahan Utsmâniyyah Ottomans, Ibrâhîm Basyâ Pasha, anak angkat Muhammad Alî Basyâ Pasha, juga menggunakan istilah Wahhâbi, Khowârij dan Bid’ah Heretics’ untuk menggambarkan dakwah Muhammad Ibn Abdul Wahhâb dan Negara Saudî [Lihat ibid, hal. 70]. Hal ini, tentu saja, terjadi sebelum Ibrâhîm Basyâ memberontak dan menyerang khilâfah Utsmâniyyah dan hampir saja menghancurkannya di dalam proses pemberontakannya. Dr. Nâshir Tuwaim mengatakan “Kaum Orientalis terdahulu, menggunakan istilah Wahhâbiyyah, Wahhâbî, Wahhâbis’ di dalam artikel-artikel dan buku-buku mereka untuk menyandarkan menisbatkan istilah ini kepada gerakan dan pengikut Syaikh Muhammad Ibn Abdul Wahhâb. Beberapa diantara mereka bahkan memperluasnya dengan memasukkan istilah ini sebagai judul buku mereka, semisal Burckhardt, Brydges dan Cooper, atau sebagai judul artikel mereka, seperti Wilfred Blunt, Margoliouth, Samuel Zwemer, Thomas Patrick Hughes, Samalley dan George Rentz. Mereka melakukan hal ini walaupun sebagian dari mereka mengakui bahwa musuh-musuh dakwah ini menggunakan istilah ini untuk menggambarkannya, padahal para pengikut Syaikh Muhammad Ibn Abdul Wahhâb tidak menyandarkan diri mereka kepada istilah ini. * Margoliouth sebagai contohnya, ia mengaku bahwa istilah Wahhâbiyyah” digunakan oleh musuh-musuh dakwah selama masa hidup pendiri’-nya, kemudian digunakan secara bebas oleh orang-orang Eropa. Walau demikian, ia menyatakan bahwa istilah ini tidak digunakan oleh para pengikut dakwah ini di Jazîrah Arab. Bahkan, mereka menyebut diri mereka sendiri sebagai “Muwahhidŭn”. [ Margoliouth, Wahabiya, hal. 618, 108. Artikel karya Margoliouth yang berjudul Wahhabis’ ini juga dapat ditemukan di dalam The First Encyclopaedia of Islam, 1913-1936 New York Brill, 1987 Reprint , karya Houtsma, Arnold, R. Basset, R. Hartman, Wensinck, Gibb, W. Heffening dan E. Lêvi-Provençal ed dan The Shorter Encyclopaedia of Islam Leiden and London Brill and Luzac & Co., 1960, hal. 619 karya Gibb, Kramers dan E. Lêvi-Provençal ed. Artikel ini juga dicetak ulang dalam o Reading, UK Ithaca Press, 1974 o Leiden Brill, 1997 o Dan cetakan pertama, Leiden and London Bril and Luzac & Co., dan New York Cornel University Press, 1953.] * Thomas Patrick Hughes menggambarkan “Wahhâbiyyah” sebagai gerakan reformis Islâm yang didirikan oleh Muhammad Ibn Abdul Wahhâb, yang menyatakan bahwa musuh-musuh mereka tidak mau menyebut mereka sebagai “Muhammadiyyah” Muhammadans, malahan, mereka menyebutnya sebagai Wahhâbî’, sebuah nama setelah namanya ayahnya Syaikh… [Thomas Patrick Huges, Dictionary of Islam, hal. 59]. * George Rentz mengatakan bahwa istilah Wahhâbî’ digunakan untuk mengambarkan para pengikut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb oleh musuh-musuh mereka sebagai ejekan bahwa Syaikh mendirikan sebuah sekte baru yang harus dihentikan dan aqidahnya ditentang. Mereka yang disebut dengan sebutan Wahhâbî’ ini beranggapan bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb hanyalah seorang pengikut Sunnah, oleh karena itulah mereka menolak istilah ini dan bahkan menuntut agar dakwah beliau disebut dengan ad-Da’wah ila’t Tauhîd’, dimana istilah yang tepat untuk menggambarkan para pengikutnya adalah Muwahhidŭn’… [George Rentz dan Arberry, The Wahhabis in Religion in The Middle East Three Religion in Concord and Conflict, Cambridge Cambridge University Press, 1969, hal. 270]. Rentz juga mengatakan bahwa, para penulis barat ketika menggunakan istilah Wahhâbî’ adalah dengan maksud ejekan, ia juga menyatakan bahwa ia menggunakan istilah itu sebagai klarifikasi. [Lihat Nâshir ibn Ibrâhîm ibn Abdullâh Tuwaim, Asy-Syaikh Muhammad ibn Abd`ul Wahhâb Hayâtuhu wa Da’watuhu fi`r Ru`yâ al-Istisyrâqiyya Dirôsah Naqdîyyah Riyadh Kementerian Urusan Keislaman, Pusat Penelitian dan Studi Islam, 1423/2003 hal. 86-7. Buku ini juga dapat dilihat secara online di . Biar bagaimanapun, siapa saja yang menggunakan istilah ini , baik dari masa lalu sampai saat ini, telah melakukan beberapa kesalahan, diantaranya * Mereka menyebut dakwah Muhammad bin Abdul Wahhâb sebagai Wahhâbiyyah’, walaupun dakwah ini tidak dimulai oleh Abdul Wahhâb, namun oleh puteranya Muhammad. * Pada awalnya, Abdul Wahhâb tidak menyetujui dakwah puteranya dan menyanggah beberapa ajaran puteranya. Walau demikian, tampak pada akhir kehidupannya bahwa beliau akhirnya menyetujui dakwah puteranya. Semoga Alloh merahmatinya. Musuh-musuh dakwah, tidak menyebut dakwah ini dengan sebutan Muhammadiyyah –terutama semenjak Muhammad, bukan ayahnya, Abdul Wahhâb, memulai dakwah ini- karena dengan menyebutkan kata ini, Muhammad, mereka bisa mendapatkan simpati dan dukungan dakwah, ketimbang permusuhan dan penolakan. Istilah “Wahhâbi”, dimaksudkan sebagai ejekan dan untuk meyakinkan kaum muslimin supaya tidak mengambil ilmu atau menerima dakwah Muhammad ibn Abdul Wahhâb, yang telah digelari oleh mereka sebagai mubtadi’ ahli bid’ah yang tidak mencintai Rasulullâh Shallâllâhu alaihi wa Sallam. Walaupun demikian, penggunaan istilah ini telah menjadi sinonim dengan seruan dakwah untuk berpegang al-Qur`ân dan as-Sunnah dan suatu indikasi memiliki penghormatan yang luar biasa terhadap salaf, yang berdakwah untuk mentauhîdkan Allôh semata serta memerintahkan untuk mentaati semua perintah Rasulullâh Shallâllâhu alaihi wa Sallam. Hal ini adalah kebalikan dari apa yang dikehendaki oleh musuh-musuh dakwah. [Lihat Qodhî Ahmad ibn Hajar Alu Abŭthâmi al-Bŭthâmi, Syaikh Muhammad Ibn Abdul Wahhâb His Salafî Creed and Reformist Movement, hal. 66]. Pada belakang hari, banyak musuh-musuh dakwah Imam Muhammad Ibn Abdul Wahhâb akhirnya menjadi kagum terhadap dakwah dan memahami esensi dakwahnya yang sebenarnya, melalui membaca buku-buku dan karya-karyanya. Mereka mempelajari bahwa dakwah ini adalah dakwah Islam yang murni dan terang, yang Alloh mengutus semua Nabi-Nya alaihim`us Salâm untuknya untuk dakwah tauhîd ini. Menggunakan istilah Wahhâbiyyah’ ini, tidak akan menghentikan penyebaran dakwah ini ke seluruh penjuru dunia. Bahkan pada kenyataannya, walaupun berada di tengah-tengah dunia barat, banyak kaum muslimin yang mempraktekkan Islam murni ini, yang mana Imâm Muhammad Ibn Abdul Wahhâb secara antusias mendakwahkannya dan menjadikannya sebagai misi dakwah beliau. Semua ini disebabkan karena tidak ada seorangpun yang dapat mengalahkan al-Qur`ân dan as-Sunnah, tidak peduli sekuat apapun seseorang itu. Perlu dicatat pula, bahwa diantara karakteristik mereka yang berdakwah kepada tauhîd adalah, adanya penghormatan yang sangat besar terhadap al-Qur`ân dan sunnah Nabi. Mereka dikenal sebagai kaum yang mendakwahkan untuk berpegang kuat dengan hukum Islam, memurnikan tashfiyah dan mendidik tarbiyah bahwa peribadatan hanya milik Allôh semata serta memberikan respek terhadap para sahabat nabî dan para ulamâ` Islâm. Mereka adalah kaum yang dikenal sebagai orang yang lebih berilmu di dalam masalah ilmu Islam secara mendetail daripada kebanyakan orang selain mereka. Telah menjadi suatu pengetahuan umum bahwa dimana saja ada seorang salafî bermukim, kelas-kelas yang mengajarkan ilmu sunnah tumbuh subur. Sekiranya istilah “Wahhâbî” ini digunakan untuk para pengikut dakwah, bahkan sekalipun dimaksudkan untuk mengecilkan hati ummat agar tidak mau menerima dakwah mereka, tetaplah salah baik dulu maupun sekarang, menyebut dakwah ini dengan sebutan “Wahhâbiyyah”. Imâm Muhammad ibn Abdul Wahhâb berdakwah menyeru kepada jalan Rasulullâh Shallâllâhu alaihi wa Sallam dan para sahabat nabi, beliau tidak berdakwah menyeru kaum muslimin supaya menjadi pengikutnya. Dakwah beliau bukanlah sebuah aliran/sekte baru, namun dakwah beliau adalah kesinambungan warisan dakwah yang dimulai dari generasi pertama Islam dan mereka yang mengikuti jalan mereka dengan lebih baik. Dalihbahasakan oleh Abŭ Salmâ al-Atsarî dari Jalâl Abŭ Alrub dan Alâ Mencke ed., Biography and Mission of Muhammad Ibn Abdul Wahhâb Orlando, Florida Madinah Publisher, 1424/2003, hal. 677-81. Dengan tambahan catatan oleh Salafimanhaj Research, Who First Used The Term “Wahhabi”? ☀ ☀☀☀☀☀ ☀ Tanya JBS Asslamualaikum, Afwan,untuk ASWAJA apakah itu harus ditinggalkan ? Tolong penjelasannya Jawab Abu Ayaz JBS afwan, utk menjawab pertanyaan antum itu, butuh penjelasan yang panjang sekali agar antum faham rincian2nya. Namun intinya, jika antum tidak mau di katakan sebagai ahlul bid’ah dan ahlul syirik sebab ASWAJA melakukan banyak sekali bid’ah dan mereka tawasul di kuburan orang2 yang mereka anggap wali , dan antum tidak mau dikatakan mengingkari bahwa Allah ada diatas langit sebagaimana hadits yang shahih, maka tinggalkanlah pemahaman ASWAJA ini. Namun dalam hal ini tidak ada paksaan. Semoga Allah memberi antum hidayah. Allahu yahdik wa hadaanallahu. ___ Jawab Abu Nabilah Mungkin bisa ana tambahkan … Mengenal Sejarah dan Pemahaman Ahlussunnah wal Jamaah Rabu, 27 Agustus 2003 – 024358 kategori Manhaj Penulis Majalah Salafy Edisi Perdana/Syaban/1416 . . Sebelum kita berbicara tentang topik dan judul pembahasan ini, sebaiknya kita mengenal beberapa pengertian istilah yang akan dipakai dalam pembahasan ini. A. Beberapa Pengertian 1. As-Sunnah As-Sunnah ialah jalan yang ditempuh atau cara pelaksanaan suatu amalan baik itu dalam perkara kebaikan maupun perkara kejelekan. Maka As-Sunnah yang dimaksud dalam istilah Ahlus Sunnah ialah jalan yang ditempuh dan dilaksanakan oleh Rasulullah salallahu alaihi wa sallam serta para shahabat beliau, dan pengertian Ahlus Sunnah ialah orang-orang yang berupaya memahami dan mengamalkan As-Sunnah An-Nabawiyyah serta menyebarkan dan membelanya. 2. Al-Jama’ah Menurut bahasa Arab pengertiannya ialah dari kata Al-Jamu’ dengan arti mengumpulkan yang tercerai berai. Adapun dalam pengertian Asyari’ah, Al-Jama’ah ialah orang-orang yang telah sepakat berpegang dengan kebenaran yang pasti sebagaimana tertera dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits dan mereka itu ialah para shahabat, tabi’in yakni orang-orang yang belajar dari shahabat dalam pemahaman dan pengambilan Islam walaupun jumlah mereka sedikit, sebagaimana pernyataan Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu “Al-Jama’ah itu ialah apa saja yang mencocoki kebenaran, walaupun engkau sendirian dalam mencocoki kebenaran itu. Maka kamu seorang adalah Al-Jama’ah.” 3. Al-Bid’ah Segala sesuatu yang baru dan belum pernah ada asal muasalnya dan tidak biasa dikenali. Istilah ini sangat dikenal dkialangan shahabat Nabi Rasulullah salallahu alaihi wa sallam karena beliau selalu menyebutnya sebagai ancaman terhadap kemurnian agama Allah, dan diulang-ulang penyebutannya pada setiap hendak membuka khutbah. Jadi secara bahasa Arab, bid’ah itu bisa jadi sesuatu yang baik atau bisa juga sesuatu yang jelek. Sedangkan dalam pengertian syari’ah, bid’ah itu semuanya jelek dan sesat serta tidak ada yang baik. Maka pengertian bid’ah dalam syariah ialah cara pengenalan agama yang baru dibuat dengan menyerupai syariah dan dimaksudkan dengan bid’ah tersebut agar bisa beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih baik lagi dari apa yang ditetapkan oleh syari’ah-Nya. Keyakinan demikian ditegakkan tidak di atas dalil yang shahih, tetapi hanya berdasar atas perasaan, anggapan atau dugaan. Bid’ah semacam ini terjadi dalam perkara aqidah, pemahaman maupun amalan. 4. As-Salaf Arti salaf secara bahasa adalah pendahulu bagi suatu generasi. Sedangkan dalam istilah syariah Islamiyah as-salaf itu ialah orang-orang pertama yang memahami, mengimami, memperjuangkan serta mengajarkan Islam yang diambil langsung dari shahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam, para tabi’in kaum mukminin yang mengambil ilmu dan pemahaman/murid dari para shahabat dan para tabi’it tabi’in kaum mukminin yang mengambil ilmu dan pemahaman/murid dari tabi’in. istilah yang lebih lengkap bagi mereka ini ialah as-salafus shalih. Selanjutnya pemahaman as-salafus shalih terhadap Al-Qur’an dan Al-Hadits dinamakan as-salafiyah. Sedangkan orang Islam yang ikut pemahaman ini dinamakan salafi. Demikian pula dakwah kepada pemahaman ini dinamakan dakwah salafiyyah. 5. Al-Khalaf Suatu golongan dari ummat Islam yang mengambil fislafat sebagai patokan amalan agama dan mereka ini meninggalkan jalannya as-salaf dalam memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits. Awal mula timbulnya istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak diketahui secara pasti kapan dan dimana munculnya karena sesungguhnya istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah mulai depopulerkan oleh para ulama salaf ketika semakin mewabahnya berbagai bid’ah dikalangan ummat Islam. Yang jelas wabah bid’ah itu mulai berjangkit pada jamannya tabi’in dan jaman tabi’in ini yang bersuasana demikian dimulai di jaman khalifah Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitab Shahihnya juz 1 Syarah Imam Nawawi bab Bayan Amal Isnad Minad Din dengan sanadnya yang shahih bahwa Muhammad bin Sirrin menyatakan, “Dulu para shahabat tidak pernah menanyakan tentang isnad urut-urutan sumber riwayat ketika membawakan hadits Nabi salallahu alaihi wa sallam. Maka ketika terjadi fitnah yakni bid’ah mereka menanyakan, sebutkan para periwayat yang menyampaikan kepadamu hadits tersebut.’ Dengan cara demikian mereka dapat memeriksa masing-masing para periwayat tersebut, apakah mereka itu dari ahlus sunnah atau ahlul bid’ah. Bila dari ahlus sunnah diambil dan bila ahlul bid’ah ditolak.” Riwayat yang sama juga dibawakan oleh Khalid Al-Baghdadi dengan sanadnya dalam kitab beliau. Riwayat ini memberitahukan kepada kita bahwa pada jaman Muhammad bin Sirrin sudah ada istilah ahlus sunnah dan ahlul bid’ah. Muhammad bin Sirrin lahir pada tahun 33 H dan meniggal pada tahun 110 H. kemudian istilah ini juga muncul pada jaman Imam Ahmad bin Hambal lahir 164 dan meninggal 241 H khususnya ketika terjadi fitnah pemahaman sesat yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk, bertentangan dengan ahlus sunnah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu Kalamullah. Fitnah terjadi di jaman pemerintahan Khalifah Al-Ma’mun Al-Abbasi. Imam Ahmad pada masa fitnah ini adalah termasuk tokoh yang paling berat mendapat sasaran permusuhan dan kekejaman para tokoh ahlul bid’ah melalui Khalifah tersebut. Mulai saat itulah istilah ahlus sunnah wal jama’ah menjadi sangat populer hingga kini. Jadi, istilah ahlu sunnah timbul dan menjadi populer ketika mulai serunya pergulatan antara as-salaf dan al-khalaf, akibat adanya infiltrasi berbagai filsafat asing ke dalam masyarakat Islam. Ahlus Sunnah wal Jama’ah kemudian menjadi simbol sikap istiqamahnya tegarnya para ulama ahlul hadits dalam berpegang dengan as-salafiyah ketika para tokoh ahlul bid’ah meninggalkannya dan ketika berbagai pemahaman dan amalan bid’ah mendominasi masyarakat Islam. B. Dalil-Dalil Ahlus Sunnah wal Jama’ah Mengapa ahlu sunnah demikian bersikeras merujuk pada pemahaman para shahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam dalam memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits? Ini adalah pertanyaan yang tentunya membutuhkan dalil-dalil Al-Qur’an dan Al-Hadits untuk menjawabnya. Ahlus Sunnah merujuk kepada para shahabat dalam memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits dikarenakan Allah dan Rasul-Nya banyak sekali memberitahukan kemuliaan mereka, bahkan memujinya. Faktor ini membuat para shahabat menjadi acuan terpercaya dalam memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai landasan utama bagi Syari’ah Islamiyah. Dalil dari Al-Qur’an dan Al-Hadits shahih yang menjadi pegangan ahlus sunnah dalam merujuk kepada pemahaman shahabat sangat banyak sehingga tidak mungkin semuanya dimuat dalam tulisan yang singkat ini. Sebagian diantaranya perlu saya tulis disini sebagai gambaran singkat bagi pembaca tentang betapa kokohnya landasan pemahaman ahlus sunnah terhadap syariah ini. 1. Para shahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam adalah kecintaan Allah dan mereka pun sangat cinta kepada Allah “Sesungguhnya Allah telah ridha kepada orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu Hai Muhammad di bawah pohon yakni Baitur Ridwan maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan keterangan atas mereka dan memberi balasan atas mereka dengan kemenangan yang dekat waktunya.Al-Fath18 Ayat ini menerangkan bahwa Allah telah ridha kepada para shahabat yang turut membaiat Rasulullah salallahu alaihi wa sallam di Hudhaibiyyah sebagai tanda bahwa mereka telah siap taat kepada beliau dalam memerangi kufar kaum kafir Quraisy dan tidak lari dari medan perang. Diriwayatkan bahwa yang ikut ba’iah tersebut seribu empat ratus orang. Dalam ayat lain, Allah Sunahanahu wa Ta’ala berfirman “Hai orang-orang yang beriman, siapa di antara kalian yang murtad dari agama-Nya yakni keluar dari Islam niscaya Allah akan datangkan suatu kaum yang Ia mencintai mereka dan mereka mencintai Allah, bersikap lemah lembut terhadap kaum mukminin dan bersikap keras terhadap orang-orang kafir, mereka berjihad di jalan Alah dan tidak takut cercaan si pencerca. Yang demikian itu adalah keutamaan dari Allah yang diberikan kepada siapa saja yang Ia kehendaki dan Allah itu Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.”Al-Maidah54 Ath-Thabari membawakan beberapa riwayat tentang tafsir ayat ini antara lain yang beliau nukilkan dari beberapa riwayat dengan jalannya masin-masing, bahwa Al-Hasan Al-Basri, Adh-Dhahadh, Qatadah, Ibnu Juraij, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat ini adalah Abu Bakar Ash-Shidiq dan segenap shahabat Nabi setelah wafatnya Rasulullah salallahu alaihi wa sallam dalam memerangi orang yang murtad. 3. Para shahabat adalah teladan utama setelah Nabi dalam beriman Ditegaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala “Kalau mereka itu beriman seperti imannya kalian yaitu kaum mukminin terhadapnya, maka sungguh mereka itu mendapatkan perunjuk dan kalau mereka berpaling mereka itu dalam perpecahan. Maka cukuplah Allah bagimu hai Muhammad terhadap mereka dan Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.”Al-Baqarah137 Ayat ini menegaskan bahwa imannya kaum mukminin itu adalah patokan bagi suatu kaum untuk mendapat petunjuk Allah. Kaum mukminin yang dimaksud yang paling mencocoki kebenaran sebagaimana yang dibawa oleh Nabi salallahu alaihi wa sallam tidak lain ialah para shahabat Nabi yang paling utama dan generasi sesudahnya yang mengikuti mereka. Juga ditegaskan pula hal ini oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Surat Al-Fath 29 “Muhammad itu adalah Rasulullah, dan orang-orang yang besertanya keras terhadap orang-orang kafir, berkasih sayang sesama mereka. Engkau lihat mereka ruku dan sujud mengharapkan keutamaan dari Allah dan keridhaan-Nya. Terlihat pada wajah-wajah mereka bekas sujud. Demikianlah permisalan mereka di Taurat, dan demikian pula permisalan mereka di Injil. Sebagaimana tanaman yang bersemi kemudian menguat dan kemudian menjadi sangat kuat sehingga tegaklah ia diatas pokoknya, yang mengagumkan orang yang menanamnya, agar Allah membikin orang-orang kafir marah pada mereka. Allah berjanji kepada orang-orang yang beriman dari kalangan mereka itu ampunan dan pahala yang besar.” Dan masih banyak lagi ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi dalil bagi Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam merujuk kepada para shahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam dalam memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits. Tentunya dalil-dalil dari Al-Qur’an tersebut berdampingan pula dengan puluhan bahkan ratusan hadists shahih yang menerangkan keutamaan shahabat secara keseluruhan ataupun secara individu. Dari hadits-hadits berikut dapat disimpulkan bahwa 1. Kebaikan para shahabat tidak mungkin disamai “Jangan kalian mencerca para shahabatku, seandainya salah seorang dari kalian berinfaq sebesar gunung Uhud, tidaklah ia mencapai ganjarannya satu mudukuran gandum sebanyak dua telapak tangan diraparkan satu dengan lainnya makanan yang dishodaqahkan oleh salah seorang dari mereka dan bahkan tidak pula mencapai setengah mudnya.”HR. Bukhari dan Muslim 2. Para shahabat adalah sebaik-baik generasi dan melahirkan sebaik-baik generasi penerus pula “Dari Imran bin Hushain radhiallahu anhu bahwa Rasulullah salallahu alaihi wa sallam bersabda Sebaik-baik ummatku adalah yang semasa denganku kemudian generasi sesudahnya yakni tabi’in, kemudian generasi yang sesudahnya lagi yakni tabi’it tabi’in. Imran mengatakan Aku tidak tahu apakah Rasulullah menyebutkan sesudah masa beliau itu dua generasi atau tiga.’ Kemudian Rasulullah salallahu alaihi wa sallam bersabda Kemudian sesungguhnya setelah kalian akan datang suatu kaum yang memberi persaksian padahal ia tidak diminta persaksiannya, dan ia suka berkhianat dan tidak bisa dipercaya, dan mereka suka bernadzar dan tidak memenuhi nadzarnya, dan mereka berbadan gemuk yakni gambaran orang-orang yang serakah kepadanya’.”HR Bukhari 3. Para shahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam adalah orang-orang pilihan yang diciptakan Allah untuk mendampingi Nabi-Nya “Rasulullah salallahu alaihi wa sallam bersabda Sesungguhnya Allah telah memilih aku dan juga telah memilih bagiku para shahabatku, maka Ia menjadikan bagiku dari mereka itu para pembantu tugasku, dan para pembelaku, dan para menantu dan mertuaku. Maka barang siapa mencerca mereka, maka atasnyalah kutukan Allah dan para malaikat-Nya an segenap manusia. Allah tidak akan menerima di hari Kiamat para pembela mereka yang bisa memalingkan mereka dari adzab Allah.”HR Al-Laalikai dan Hakim, SHAHIH Dan masih banyak lagi hadits-hadits shahih yang menunjukkan betapa tingginya kedudukan para shahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam di dalam pandangan Nabi. Maka kalau Allah dan Rasul-Nya di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits telah memuliakan para shahabat dan menyuruh kita memuliakannya, sudah semestinya kalau Ahlus Sunnah wal Jama’ah menjadikan pemahaman, perkataan, dan pengamalan para shahabat terhadap Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai patokan utama dalam menilai kebenaran pemahamannya. Ahlus sunnah juga sangat senang dan mantap dalam merujuk kepada para shahabat Nabi dalam memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dikutip dari Majalah Salafy Edisi Perdana/Syaban/1416 H/1995 H, Rubrik Aqidah, Hal 14-17 ____ ☀ ☀☀☀ Catatan Fr. Orcela 1> APA ITU WAHABI ? 2>MELURUSKAN TUDUHAN MIRING TENTANG WAHHABI
ANTARA AHLUS-SUNNAH WAL-JAMA’AH DENGAN MANHAJ SALAFPertanyaan. Ana mau bertanya tentang manhaj Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah dan kaitannya dengan manhaj Salaf Salafi/Salafush-Shâlih. Apakah keduanya hakikatnya manhaj yang sama? Jazakallah Manhaj Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah sama dengan manhaj Salaf atau Salafi atau Salafush-Shâlih. Disebut dengan manhaj Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, karena jalan kebenaran itu adalah jalan orang-orang yang berpegang teguh terhadap Sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabdaأُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ Aku wasiatkan kepada engkau untuk bertakwa kepada Allah; mendengar dan taat kepada penguasa kaum muslimin, walaupun seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya barang siapa hidup setelahku, ia akan melihat perselisihan yang banyak, maka engkau wajib berpegang kepada Sunnahku dan Sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus. Peganglah dan gigitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru dalam agama, karena semua perkara baru dalam agama adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat.[1]Adapun jalan yang ditempuh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat itulah yang disebut dengan al-jama’ah, sebagaimana hadits di bawah iniعَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ افْتَرَقَتِ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَإِحْدَى وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ هُمْ قَالَ الْجَمَاعَةُ Dari Auf bin Mâlik Radhiyallahu anhu, ia berkata Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda “Orang-orang Yahudi telah bercerai-berai menjadi 71 kelompok, satu di dalam surga, 70 di dalam neraka. Orang-orang Nashara telah bercerai-berai menjadi 72 kelompok, 71 di dalam neraka, satu di dalam surga. Demi Allah, Yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, umatku benar-benar akan bercerai-berai menjadi 73 kelompok, satu di dalam surga, 72 di dalam neraka”. Beliau Shallallahu alaihi wa sallam ditanya “Wahai Rasulullah! Siapakah mereka itu?” Beliau Shallallahu alaihi wa sallam menjawab “Al-Jama’ah”.[2]Pada hadits lain disebutkanعَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيَأْتِيَنَّ عَلَى أُمَّتِي مَا أَتَى عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ حَذْوَ النَّعْلِ بِالنَّعْلِ حَتَّى إِنْ كَانَ مِنْهُمْ مَنْ أَتَى أُمَّهُ عَلَانِيَةً لَكَانَ فِي أُمَّتِي مَنْ يَصْنَعُ ذَلِكَ وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي Dari Abdullah bin Amr Radhiyallahu anhu , ia berkata Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda “Benar-benar akan datang kepada umatku, apa yang telah datang pada Bani Israil, persis seperti sepasang sandal. Sehingga jika di antara mereka ada yang menzinahi ibunya terang-terangan, di kalangan umatku benar-benar ada yang akan melakukannya. Dan sesungguhnya Bani Isra’il telah bercerai-berai menjadi 72 agama, dan umatku akan bercerai-berai menjadi 73 agama, semuanya di dalam neraka kecuali satu”. Para sahabat bertanya “Siapakah yang satu itu, wahai Rasulullah?” Beliau Shallallahu alaihi wa sallam menjawab “Apa yang aku dan para sahabatku berada di atasnya”. [3]Para sahabat serta generasi yang mengikutinya adalah Salafush-Shalih, disingkat dengan Salaf. Artinya, ialah orang-orang yang terdahulu yang shalih. Sedangkan orang yang mengikutinya disebut Salafi. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam memuji Salaf tersebut dengan sabda beliau Shallallahu alaihi wa sallam خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ Sebaik-baik manusia adalah generasiku yaitu generasi sahabat, kemudian orang-orang yang mengiringinya yaitu generasi tabi’in, kemudian orang-orang yang mengiringinya yaitu generasi tabi’ut tabi’in. Hadits mutawatir, riwayat Bukhâri, dan lainnyaNamun yang perlu kita ketahui juga, bahwa tidak setiap orang yang menyatakan dirinya Salafi, kemudian dia benar-benar berada di atas manhaj Salaf. Karena kebenaran itu tidak hanya dengan perkataan dan pengakuan saja, tetapi juga memerlukan dukungan yang dibuktikan dengan amal perbuatan.[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079] ________ Footnote [1] HR Abu Dawud no. 4607, at-Tirmidzi 2676, ad-Dârimi, Ahmad, dan lainnya dari al-Irbadh bin Sariyah. [2] HR Ibnu Majah no 3992, Ibnu Abi Ashim no. 63, al-Lalikai 1/101. Hadits ini derajatnya hasan. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh Ibni Majah, no. 3226. [3] Hadits Shahîh lighairihi, riwayat at-Tirmidzi, al-Hakim, dan lainnya. Dishahîhkan oleh Imam Ibnul-Qayyim dan asy-Syathibi. Dihasankan oleh al-Hafizh al-Iraqi dan Syaikh al-Albâni. Syaikh Salim al-Hilali menulis kitab khusus untuk membela hadits ini, yaitu Daf’ul Irtiyab an Haditsi mâ Ana alaihi wal- Ash-hab. Home /A3. Konsisten Diatas Manhaj.../Antara Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah Dengan...
perbedaan salafi dan ahlussunnah wal jamaah